Minggu, 14 Desember 2008

Making Howard and SBY the laughing stock

The Jakarta Post , Jakarta | Tue, 04/04/2006 9:32 AM | Opinion

Kornelius Purba, The Jakarta Post, Jakarta

Australian Prime Minister John Howard may, like President Susilo Bambang Yudhoyono, who is an avid dog lover and a Muslim, have nothing against dogs.

But it is understandable the two were angered by cartoons depicting them as male dogs at the height of mating season.

It is no exaggeration to say that most Indonesians would be deeply insulted by being called anjing (dog). A jealous wife who suspects her husband is having an affair might yell at him,""Dasar anjing (implying ""You are just like a dog, because a dog cannot control its sexual desire"").

Meanwhile, for dogs, it is a gross violation of animal rights and they have no opportunity to defend themselves. It is possible they do not want to be compared with human beings, especially not politicians.

Rakyat Merdeka cartoonist Fonda Lapod explained in his article It is not a cartoon about coitus -- which appeared Monday on the newspaper's front page -- his controversial cartoon, The adventures of two dingoes, was motivated by a strong sense of nationalism.

He said he could not accept the humiliating treatment his country was given by Australia and her government. Although the many readers who saw his cartoon, which was published last week, could be forgiven for thinking the opposite. Fonda denied the drawing he made of two dingoes, representing Howard and his foreign minister Alexander Downer, was of the animals fornicating but of them ""behaving playfully"".

In the cartoon, the prime minister says while on top of Downer: ""I want Papua!! Alex! Try to make it happen."" According to newswire reports, Howard dismissed the Indonesian cartoon, although Downer described it as grotesque and ""way below standards of public taste"".

Both Howard and Downer were clearly upset by the drawing. They have a number of reasons to take offense -- for starters, they are not animals and it might give the wrong impression they are into bestiality.

Rakyat Merdeka is known for its eye-catching and bombastic headlines and its sometimes ugly cartoons. This has often caused problems for the newspaper. In October 2003, the South Jakarta Court handed down a six-month suspended sentence to its executive editor Supratman for defamation against president Megawati Soekarnoputri.

Mega's mouth smells of diesel fuel and Mega is worse than a loan shark are among the headlines that angered Megawati.

In the same year, its chief editor Karim Paputungan was handed, by the same court, a five-month suspended jail term, for making the decision to print a cartoon depicting Akbar Tandjung half-naked. At that time Akbar, who was facing corruption charges, was leader of the Golkar Party and speaker of the House of Representatives.

It is a popular newspaper, but many people do not regard it as a serious newspaper but more as a sensationalist daily.

It is surprising that The Australian, which is often described here as a serious newspaper of good quality, retaliated in a way that was in equally poor taste. The cartoon itself was drawn by award-winning cartoonist Bill Leak.

I must apologize for using such language: But which of the two publications is the stupidest?

The other cartoon portrays an Indonesian man with his peci (cap) -- very probably President Susilo Bambang Yudhoyono -- as a male dog copulating with a Papuan dog. ""Don't take this the wrong way...,"" the Indonesian dog tells the Papuan dog

The cartoon caption reads ""no offense intended"". The President was evidently irritated and said Monday, ""We should review again the various agreements we have agreed on, for example, cooperation in the field of illegal migration.""

Indonesia has agreed to help intercept illegal immigrants to Australia, because many of them used Indonesian waters in the past. And Australia could face great difficulties if Indonesia unilaterally annulled the agreements.

Millions of Muslims around the world were angered by the cartoons of Prophet Muhammad published by Danish newspaper Jyllands-Posten in September. The cartoons caused global uproar. The feelings of many Muslims were understandable, although the violent reactions of some were also regrettable.

The following could be regarded as preaching, but, as in any other profession, the press should never forget their social responsibility. Every country is in real need of freedom of the press, but that freedom should not come at any cost, including wisdom. In any case, why should dogs responding to the call of nature, or on a reproductive mission, be reduced to a lower position in the eyes of others?

Kamis, 12 Juni 2008

Melawan dengan Karikatur

Yusuf Maulana

Karikaturis senior Agustin Sibarani memiliki penilaian mengenai kesalahan karikaturis dalam menggambar obyek yang dikarikaturkan. Di dalam Karikatur dan Politik (2001), Sibarani menuliskan, dalam membuat karikatur perorangan (personal caricature) misalnya, penggambaran watak dari obyek yang ditampilkan sering tidak sesuai dengan kenyataan.
Koruptor, penipu, bahkan buronan, yang wajahnya dibuat tampak simpati merupakan karikatur yang salah besar. Sebaliknya, bila orang bahkan masyarakat maupun suatu kaum memuja sesosok tokoh, lalu tokoh tersebut digambarkan tidak simpatik, maka seorang karikaturis juga melakukan kesalahan besar.
Meski John Howard atau Alexander Downer bukan pejabat Australia yang bebas dari kesalahan, di mata Bill Leak, penggambaran keduanya oleh Rakyat Merdeka (edisi 27 Maret 2006) sebagai serangan yang tidak boleh dibiarkan. Bagaimanapun, kedua pejabat negerinya itu masih memiliki kehormatan. Digambarkannya Howard dan Downer sebagai dingo yang tengah berkawin merupakan pelecehan harkat bangsa Australia. Dalam profesinya sebagai karikaturis, bisa dimengerti bila Leak ingin menampilkan patriotismenya.
Sayangnya, karya Leak yang dimuat di The Weekend Australian (edisi 1 April 2006) justru mengulangi "kreativitas" yang telah dihasilkan Fonda Lapod untuk harian di Jakarta itu. Leak hanya berasumsi bahwa masyarakat Indonesia sudah bisa menerima karikatur dengan tingkat kebebasan sebagaimana diperlihatkan dalam karya Lapod. Dari sini Leak kemudian meniru "genre" yang diawali Lapod: mengonstruksi gambar yang nyaris sama namun dengan figur berbeda (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono).
Leak lupa bahwa untuk merespons karikatur yang dipandang melecehkan kepala negaranya tidak perlu dilakukan secara ofensif berlebihan. Bukankah karya Lapod memang ditujukan—sebagaimana segmentasi harian yang memuatnya—pembaca dari kalangan menengah ke bawah? Ditambah lagi peredaran harian itu hanya di Jakarta dan kota di sekitarnya. Pendeknya, "penghinaan" karikatur di harian Jakarta itu sebenarnya berskala lokal.
Respons Leak terlihat emosional: menempatkan karya karikatur di Jakarta sebagai provokasi yang harus segera dibalas. Leak gegabah menyimpulkan masyarakat Indonesia sepenuhnya menerima karya Lapod. Lewat karya patriotismenya itu, Leak justru memperlihatkan kenaifannya sebagai karikaturis terpandang: membuat asumsi untuk dijadikan alibi membuat karya pembalasan.
Ada kode etik
Aksi balas-membalas karikatur tersebut sebetulnya bukan persoalan bila kode etik perkarikaturan tetap dihormati. Betapa pun kebebasan untuk menyatirkan pejabat atau kelompok tertentu sangat dijunjung tinggi, ada batas-batas tertentu yang harus dijaga. Hal-hal yang berkaitan dengan SARA, kecabulan, dan cacat fisik, patut diperhatikan oleh karikaturis agar di kemudian hari tidak timbul persoalan.
Andai karikatur Lapod dan Leak tidak menggambarkan adanya hubungan (maaf) biologis, besar kemungkinan masyarakat di kedua negara masih bisa menoleransi karya keduanya. Seliberal apa pun perilaku masyarakat Australia ternyata di antara mereka menafsiri karikatur di harian Jakarta itu sebagai bentuk penghinaan yang kasar. Dan terlebih lagi, bagi (mayoritas) masyarakat Indonesia yang peka terhadap seksualitas, karya Leak amat mudah menyulut kemarahan. Benarlah yang dikatakan Sibarani, akibat kesalahan yang dilakukan karikaturis, efeknya menjalari ketegangan diplomatik antarnegara.
Dalam aksi balas-membalas karikatur tersebut terlihat efek psikis yang menjadikan keadaan yang sebenarnya normal seolah- olah abnormal; keadaan yang sebenarnya damai seolah konflik. Dengan adanya balasan dari Leak, bertambah ketegangan di antara kedua negara, seperti menghadapi perang terbuka.
Saat kondisi berperang bisa diterima adanya upaya propaganda melalui teknik-teknik yang provokatif, termasuk dengan melecehkan simbol kehormatan pihak lawan. Memburuknya hubungan Indonesia-Australia saat ini tentu saja belum sampai tingkatan siaga-perang.
Namun, disebabkan adanya aksi balas-membalas lewat karikatur, secara perlahan terbentuk imajinasi-kolektif patriotisme di setiap warga di kedua negara.
Karikatur bukanlah gambar biasa yang berposisi statis, atau merefleksikan sama persis obyek yang digambar. Seperti asal katanya, caricare, yang bermakna memuat (dalam hal ini memuat "berlebihan"), karikatur memang menekankan kesatiran dan pendistorsian. Ini yang tidak dijumpai dalam kartun; kartun lebih mengutamakan humor, serta kurang menekankan titik satiris dan distorsi.
Dengan menitikberatkan pada kesatiran dan distorsi, seorang karikaturis harus mampu menggali pemaknaannya terhadap realitas yang terjadi di sekitarnya ke dalam unsur-unsur grafis yang "berlebihan". Karikaturis bertugas "menerjemahkan" realitas eksternal ke dalam bahasa tanda yang menurutnya relevan dalam memengaruhi publik: menghibur tanpa mengabaikan fungsi kritik.
Dalam kebebasannya, seorang karikaturis dengan mudah memainkan pertandaan. Kebebasan yang disandangnya menjadi haknya, untuk selanjutnya "dipertanggungjawabkan" kepada publik lewat karyanya. Meski kebebasan berkreativitas melekat bersama profesinya, karikaturis tidak bisa memainkan pertandaan seenaknya. Kalaupun tidak membuahkan ketegangan politik seperti dalam aksi balas-membalas karikatur di atas, setidaknya karikaturis hanya menghasilkan karya propaganda yang tidak mengindahkan kualitas karyanya sama sekali.
Media perlawanan
Bagi pihak tertindas, karikatur merupakan media perlawanan. Sementara bagi pihak yang berkuasa atau dominan, karikatur tidak lain media pembalasan untuk "menertibkan" pihak tertindas. Karena itulah perang karikatur sebenarnya bisa dilihat sebagai perpanjangan perang atau konflik dalam dunia nyata.
Tidak terlalu salah perkataan Jean Romnicianu (seperti dikutip Ismail Kusmayadi, 2004), bahwa seni kartun dan karikatur adalah seni yang sulit, kejam, berbahaya, sekaligus bermanfaat. Dikatakan sulit, karena jenis seni ini menuntut sang seniman untuk mencari cacat dan kebutaan suatu masyarakat yang notabene dia sendiri sebagai bagian dari masyarakat itu. Sebelum meledek orang lain ia harus bisa meledek diri sendiri, dan semua orang tahu justru itulah yang paling sulit. Disebut kejam, karena tawa (menertawakan orang lain) itu tak pernah menjadi tawa yang baik hati. Kalau dipikir-pikir, orang hanya menertawakan sesuatu yang melukai dirinya sendiri atau orang lain. Seolah-olah tawa bukan manifestasi dari kesenangan belaka, tapi juga merupakan pertahanan melawan kepedihan. Karikatur juga dianggap berbahaya, karena meledek orang lain adalah cara terbaik mencari musuh bebuyutan.
Namun, kartun dapat bermanfaat karena kartun merupakan cara terbaik, yang cepat ditangkap, yang paling terbaca, untuk melihat sesuatu yang abnormal. Selain itu, kartun juga berguna sebagai pengungkap kebenaran yang tak kenal ampun.
Frase "pengungkap kebenaran yang tak kenal ampun"—dalam pandangan Romnicianu—tentu berbeda jauh dengan "pengungkap yang tak kenal ampun". Titik tekan keberhasilan dan tingginya kualitas karya karikatur tidak bisa dilepaskan dari motif mengungkap kebenaran.
Memang, pada saat terjadi konflik (terlebih sudah berperang), karikatur akan sangat terbuka untuk mengalami pemaknaan yang dilebih-lebihkan. Dalam konteks ini, karikatur dibuat hanya dengan semangat patriotisme fanatik, namun mengabaikan kebenaran.
Meski demikian, pengalaman juga mencontohkan bahwa dengan tetap menjaga etika dan kualitas, serta saat yang sama patriotisme dijalankan, David Low menjadi karikaturis Inggris terpandang. Kepahlawanan Low mengikuti pendahulunya: Thomas Rowlandson dan James Gillary. Lewat karikaturnya, Low kemudian dicatat dalam Encyclopedi Americana sebagai salah satu dari komentator paling dikenal dan dikagumi pada abad XX tentang berbagai peristiwa dunia, terutama tentang Hitler dan Nazi selama Perang Dunia II. Gara-gara karikatur Low, kabarnya Hitler sempat tidak bisa tertidur. Yusuf Maulana Pencinta karikatur; Bekerja pada Institut Analisis Propaganda

Rabu, 14 Mei 2008

Perang Kartun Indonesia - Australia

oleh: Yayak Yatmaka (10-04-2006)

Melihat kartun editorial koran Rakyat Merdeka, terutama gambar kartun yang menyerang pemerintah Australia dengan telah memakai senjata berupa gambaran 'cara hubungan seksual nista', bisa jadi petunjuk telah terjadinya loncatan besar keberanian dan kesadaran baru insan pers Indonesia.
Kartun sebagai senjataDi Koran Rakyat Merdeka akhir minggu bulan Maret termuat karikatur menghujat dua dingos berwajah John Howard dan Alexander Downer lagi bersiap mau bersodomi dan bilang "We need Papua. Ayo Al, mainkan!". Seminggu kemudian The Australian membalas dengan karikatur bergambar binatang berpeci berwajah mirip Soesilo Bambang Yudhoyono tertawa dan bilang: "Don't take this in the wrong way!", sedang menyodomi binatang hitam berambut kriting dan tulang di hidungnya mengingatkan pada wajah orang Papua.
SBY tak ingin melihat karikatur itu dan hanya bilang bahwa itu serangan yang keterlaluan dan barang sampah, menunjukkan selera rendah redaksi dan pembaca koran itu. Howard dan Downer juga memberikan tanggapan sejenis atas kartun Rakyat Merdeka. Setengah memaki dengan mengatakan bahwa kartun itu miskin rasa dan rendah pikiran. Perang karikatur ini terjadi menyertai hubungan diplomatik yang memanas akibat penerimaan pemerintah Australia atas 42 pencari suaka dari Papua.
Kartun, terakhir ini telah secara beruntun dipakai untuk perang urat syaraf. Seperti yang baru saja terjadi, dunia dibikin panas akibat Koran Denmark Jyllands Posten memuat karikatur Muhammad, nabi para muslim yang sangat taat menjalani larangannya untuk tidak sekalipun menggambarkan profil wajah nabinya itu. Api menyala di hampir semua negara Islam di Timur Tengah maupun di negara yang berwarga muslim. Juga, di Indonesia.
Bahkan Duta Besar Denmark menyatakan permintaan maaf kepada kaum Muslim atas pemuatan kartun itu, meski tetap menyatakan bahwa pemerintahnya tak kuasa untuk membatasi pers di negaranya yang demokratis. Kemudian hari diketahui bahwa koran itu milik orang Yahudi.
Ketika sebuah koran di Iran membuka lomba kartun internasional dengan tema "Holocaust", beberapa saat sesudah kasus pemuatan kartun Muhammad itu, mencuat, banyak media Eropa menduga bahwa barisan Muslim lagi menyiapkan serangan balasan.
Sebuah bom, beberapa tahun lalu meledak di sebuah disko di Yerusalem. Sehari setelah pemuatan di suatu koran Israel sebuah karikatur yang menggambarkan seekor babi memakai surban serupa seperti yang dikenakan Yasser Arafat. Ledakan itu mengakibatkan matinya beberapa anak muda.
Ternyatalah bahwa kartun politik, di antaranya memang efektif untuk dipakai menyerang golongan atau lawan lain yang dianggap berseberangan sikap, pemikiran dan ideologinya. Sesuai sifatnya yang mengusik emosi, menggelitik syaraf gelak, dan menghantarkan ke pemikiran kritis, sebuah kartun dengan penggambaran tertentu bisa dipakai untuk melukai perasaan atau membunuh karakter lawan.
Gambar sebagai senjata, sebagai alat propaganda dalam perang urat syaraf bahkan dipakai semenjak orang mengenal ilmu dan media cetak. Secara terbuka dipakai sejak Perang Dunia I. Yang bisa dijadikan contoh klasik dan tertinggal lama di benak orang sedunia adalah gambar Charlie Chaplin. Ia memanasi perang propaganda antara Sekutu melawan Jerman. Kumis segi empat Chaplin dan cara berjalannya yang seperti pinguin memang sengaja dipakai untuk mengejek Hitler selama Perang Dunia II.
Kartun dan Sejarah Politik di IndonesiaDi koran dan penerbitan serta tembok-tembok di beberapa kota besar di Indonesia antara 1945 - 1949 banyak dimuat dan tergambarkan berbagai kartun melawan penjajah. Gambarnya, tentara Jepang ditendang oleh kaki besar telanjang, dan tentara Inggris ditusuk. Tertulis "Jepang kita tendang, Inggris kita linggis."
Saat Soekarno menyatakan Konfrontasi melawan Malaysia 1963, hampir setiap hari berbagai koran di Indonesia memuati karikatur yang menistakan Tengku Abdulrachman, Perdana Menteri Malaysia waktu itu. Slogan 'Ganyang Malaysia' disertai dengan gambar Tengku Abdulrahman sebagai boneka Inggris. Beberapa koran bahkan menggambarkannya bertubuh binatang, sebuah cara umum dan jamak dalam membangkitkan kebencian kolektif atas lawan lewat gambar kartun. Karakter Perdana Menteri itupun dibanting senilai tinjanya orang Inggris.
Di masa Orba lain lagi. Setelah koran kiri macam Harian Rakyat, Bintang Timur, Suluh Marhaen, Swadesi dsb. diberangus atau mati perlahan-lahan, media pers Indonesia memang kehilangan kartunis politik yang hebat dan jenial karena ditangkap atau dibunuh seiring Pembantaian Massal 1965 dan pembersihan Sukarnois lewat operasi Bersih Lingkungan.
Sensor pers dilakukan sangat ketat. Saat ke saat. Terbukti ketika Suluh Marhaen di Yogya, akhir 1960an, memuat sebuah katun strip berceritera tentang bebek-bebek gemuk bernama Hart Godean dan Tience Dembleb, koran itu dibredel dan karikaturisnya dipenjara tahunan lamanya. Setelah itu, tak satupun koran dan majalah di Indonesia berani memanfaatkan fungsi kartun editorialnya untuk mengkritik pemerintahan Orde Baru. Bila ada, hanya berupa sindiran dan amat sangat simbolik serta halus. Yang sama sekali tabu adalah memanfaatkan gambar untuk mempermainkan praktek-praktek biadab tentara dan kerakusan keluarga Cendana.
Baru pada awal 1991 terbuka kembali mata dan kesadaran orang Indonesia saat beredarnya sebuah Kalender poster bertajuk "Tanah Untuk Rakyat" yang berisi melulu kartun, dengan teknik Humor Hitam dan telah membuat pemerintahan Orba, keluarga Cendana dan Militer secara serempak kebakaran jenggot. Kejaksaan Agung melarang peredaran, pemajangan, bahkan penyimpanan barang itu. Dan menginstruksikan penangkapan pembuatnya, hidup atau mati, serta menuduhnya telah melakukan tindakan subversif.
Berani dan sadarMelihat kartun editorial koran Rakyat Merdeka, terutama gambar kartun yang menyerang pemerintah Australia dengan telah memakai senjata berupa gambaran 'cara hubungan seksual nista', bisa jadi petunjuk telah terjadinya loncatan besar keberanian dan kesadaran baru insan pers Indonesia. Ada hubungannya dengan RUUAPP (Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi)? Entahlah. Suatu sikap yang banal, memang. Tak aneh, bila balasannya juga banal.

Virgin

Belah duren? Ya tadi aku baru saja membelah duren. Horni aku sudah terlepas dari wadahnya, dan aku pun bisa bebas lepas menumpahkan fantasi yang kian menggumpal di otak (mesti cepat dihamburkan, kalau tidak bida jadi tumor). Ehem, makasih bloger. Tunggu tanggal mainnya. MMMMMUUUUACCH